“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak
menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah
ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi
ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba
indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia
adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak
nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia
ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan
pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia
yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke
mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang
tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan
benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan
jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab
asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan
kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.” <Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 29-31>
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut
shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah,
diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang
belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti,
sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari
kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman
batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup
melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus
dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya
lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus
sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian (
penambahan, mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci
pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang
memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya
jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah
dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang
dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju
kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya
sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan
merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221;
Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan
apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip
hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi
yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih
mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya
wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan
bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga
dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal
wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh
adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat
tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh
seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari
manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa;
unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan
mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada
keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka
paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan
sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini,
dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan
(di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta
selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa
dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya
sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna.
Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari
bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan
bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang
menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara
mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat
(meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana
diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak
diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita
masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita sudah
mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika
dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus
kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar