“Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah
berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu
dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan
kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia
berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang
dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai
keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya
tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya
dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan
kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu,
bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun
tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa
sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan
sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi
melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang
dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak
merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang
itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada
dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika
masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa
menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa.
Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah
menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam
tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju
dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud
Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan
selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar
atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti
itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif
menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif
itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif
merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat.
Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya,
yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud.
Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku
tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang
merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah,
niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci.
Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah
semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti
dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang
benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin
ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar,
kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang
benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi
penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang
dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam.
Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” <Serat Suluk
Malang Sumirang, Pupuh 4>.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar