“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi
saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang
menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama
diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang
tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal
Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model
dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan
erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga
pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di
bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat,
sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu
keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat
khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam
kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap
memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut
mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan
makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam
Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan
keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’.
Dan shalat yang khusyu’
itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan
diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak
menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan
zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista;
(4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi
shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi
tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang
melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika
melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang
liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang
liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah
dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal
dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri <Wong
Jowo ngomonge’ Pasrah Bongkoan>. Sehingga doktrin manunggal bukanlah
masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan
konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah
satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar
menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan
menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para
pencuri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar